maresiliencycenter.org – Sejak konflik antara Israel dan Hamas di Gaza yang meletus pada 7 Oktober 2023, Israel telah membatasi akses pekerja dari Tepi Barat ke pasar tenaga kerja di wilayahnya. Baru-baru ini, Israel telah mengambil langkah lebih lanjut dengan membekukan izin kerja untuk sekitar 80.000 warga Palestina di Tepi Barat, efektif sejak Kamis pekan lalu.
Menurut informasi dari lembaga penyiaran publik Israel, yang dilaporkan oleh Anadolu Agency dan Middle East Monitor pada tanggal 15 Juni 2024, “Badan Sipil Israel, yang beroperasi di bawah Kementerian Pertahanan, telah menghentikan penerbitan hampir 80.000 izin kerja untuk pekerja Palestina dari Tepi Barat.” Sebelumnya, lembaga tersebut sempat memperbarui izin kerja bagi puluhan ribu pekerja, namun membatasi akses mereka melalui pos pemeriksaan kecuali dengan izin militer.
Dampak ekonomi dari pembatasan ini cukup signifikan. Data dari Kementerian Keuangan Israel menunjukkan bahwa absennya pekerja Palestina dari sektor-sektor seperti konstruksi, pertanian, dan industri telah menyebabkan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai 3 miliar shekel (sekitar US$ 840 juta) setiap bulannya.
Situasi di Tepi Barat telah menjadi lebih tegang sejak Israel melancarkan serangan militer besar-besaran ke Jalur Gaza sebagai respons terhadap serangan oleh Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, konflik di Tepi Barat telah menyebabkan kematian sedikitnya 543 warga Palestina dan luka-luka pada hampir 5.200 orang akibat tembakan tentara Israel.
Di panggung internasional, Israel telah mendapat kritik keras. Di Mahkamah Internasional (ICJ), negara ini dituduh melakukan tindakan genosida. Keputusan terbaru dari ICJ meminta Israel untuk menghentikan operasi militer di kota Rafah, di selatan Gaza, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari dampak perang.