Ketika mendengar nama Palembang, pikiran kita biasanya langsung tertuju pada Pempek. Hidangan khas ini memang sudah menjadi ikon yang melekat dengan kota Palembang. Namun, selain Pempek, Palembang juga memiliki kuliner unik lain yang patut dicoba, salah satunya adalah Gulo Puan.
Meski namanya tidak sepopuler Pempek, Gulo Puan memiliki keistimewaan tersendiri. Kudapan manis ini dulunya merupakan santapan eksklusif para bangsawan Kesultanan Palembang Darussalam. Kini, Gulo Puan menjadi salah satu warisan kuliner yang jarang ditemui, tetapi tetap diburu oleh pecinta makanan tradisional.
Asal-Usul Gulo Puan
Nama Gulo Puan berasal dari bahasa lokal Sumatera Selatan, di mana “gulo” berarti gula dan “puan” berarti susu. Sesuai namanya, bahan utama kudapan ini adalah susu segar dari kerbau rawa khas Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Konon, Gulo Puan dahulu disajikan sebagai hidangan istimewa bagi para bangsawan dan raja. Masyarakat Pampangan biasa memberikan kudapan ini sebagai bentuk upeti kepada Sultan Palembang. Hingga kini, pembuatan Gulo Puan tetap menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.
Proses Pembuatan yang Rumit dan Tradisional
Gulo Puan dikenal sebagai kudapan yang memerlukan kesabaran ekstra dalam proses pembuatannya. Untuk membuat Gulo Puan, dibutuhkan lima liter susu kerbau rawa yang dicampur dengan satu kilogram gula merah. Campuran ini dimasak di atas api kecil sambil terus diaduk selama sekitar lima jam hingga susu mengental dan membentuk tekstur gumpalan cokelat.
Tekstur akhir Gulo Puan berpasir, lembut, dan memiliki rasa manis gurih yang khas. Proses panjang inilah yang membuat Gulo Puan jarang diproduksi dalam jumlah besar.
Selain digunakan sebagai bahan utama Gulo Puan, susu kerbau rawa juga dapat diolah menjadi produk lain, seperti minyak samin, sagon puan, dan tape puan. Proses pembuatan minyak samin, misalnya, melibatkan pengendapan susu hingga menghasilkan lapisan putih seperti mentega.
Keunikan dan Keterbatasan Bahan Baku
Keunikan Gulo Puan tidak hanya terletak pada rasanya, tetapi juga pada bahan bakunya yang langka. Kerbau rawa Pampangan, yang menjadi sumber utama susu untuk Gulo Puan, adalah spesies khas Indonesia dengan kebiasaan unik makan sambil menyelam.
Sayangnya, populasi kerbau rawa semakin menurun akibat penyusutan lahan gembalaan dan dampak kebakaran hutan beberapa tahun lalu. Kondisi ini membuat produksi Gulo Puan semakin sulit dilakukan.
Salah satu desa penghasil Gulo Puan adalah Desa Bangsal di Pampangan. Namun, akses menuju desa ini cukup menantang. Perjalanan dari kota ke desa membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam dengan kondisi jalan yang masih berupa tanah merah dan penuh liku.
Kenikmatan Gulo Puan yang Tak Tergantikan
Rasa Gulo Puan yang manis dengan sentuhan gurih sering kali dibandingkan dengan karamel berpadu keju. Kudapan ini sangat cocok dinikmati dengan teh atau kopi, atau dijadikan olesan pada roti tawar. Sayangnya, karena bahan bakunya yang spesifik, mencoba membuat Gulo Puan di luar Palembang menggunakan susu sapi atau susu kambing tidak akan menghasilkan cita rasa yang sama.
Upaya Melestarikan Warisan Kuliner
Sebagai warisan budaya kuliner, Gulo Puan memiliki nilai sejarah dan tradisi yang tinggi. Meski demikian, kelangkaan bahan baku dan proses pembuatannya yang rumit menjadi tantangan besar untuk mempertahankan eksistensinya.
Untuk itu, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk melestarikan tradisi ini. Salah satunya adalah dengan menjaga populasi kerbau rawa Pampangan dan mengembangkan potensi wisata kuliner di daerah tersebut.
Gulo Puan bukan sekadar kudapan manis biasa. Di balik rasanya yang unik, tersembunyi kisah sejarah, tradisi, dan perjuangan masyarakat lokal untuk melestarikan warisan kuliner ini. Jika Anda berkunjung ke Palembang, sempatkan untuk mencicipi atau membawa pulang Gulo Puan sebagai oleh-oleh istimewa yang sarat makna.